Banyak keuntungan kalau kita bergabung dengan milis yang sesuai dengan ilmu, perkerjaan, hobby dll. Seperti dimilis kimiawan.org, disini bisa mendapatkan tentang informasi seminar, workshop dan diskusi. Tentang diskusi ada topik yang menarik untuk disimak yaitu tentang Etika Ilmiah : Self-Plagiarism. Karena topiknya menarik maka saya sharing di blog ini. Berikut adalah rangkuman diskusi yang dibuat Bapak Muhamad A. Martoprawiro.
Etika Ilmiah : Self-Plagiarism
1. Sebagai rangkuman, kita tidak boleh melakukan self-plagiarism, misalnya dalam bentuk:
1) Data yang digunakan dalam suatu artikel, telah pernah digunakan dalam artikel sebelumnya, dan tidak dilakukan perujukan yang semestinya pada artikel yang kedua.
2) Metode yang diuraikan dalam suatu artikel, pernah diuraikan dalam artikel sebelumnya, bahkan walaupun metode tsb. adalah hasil pengembangan si penulis. Kalau si penulis pernah menguraikan metode itu di artikel sebelumnya, walaupun itu metode KARYA SENDIRI, maka di artikel sesudahnya ia cukup merujuknya, tanpa harus menguraikannya lagi.
2. Hal-hal berikut bukanlah self-plagiarism:
1) Metode yang diuraikan di skripsi/tesis/disertasi, yaitu hasil pengembangan selama studi, diuraikan kembali dalam artikel yang di-submit di jurnal. Yang tertulis di skripsi/tesis/disertasi statusnya belumlah diterbitkan, bahkan walaupun telah online dalam “institutional repository”. Justru mahasiswa dan dosen pembimbingnya akan memilah, mana yang memiliki nilai “kebaruan” dalam skripsi/tesisnya, dan mana yang Hanya yang memiliki nilai kebaruan sajalah yang ditulis dalam artikel yang di-submit ke jurnal (baik berupa data, metode, atau teori/hukum), sedangkan hal-hal lain dalam artikel itu dibuat sangat minimal, dan lebih banyak merujuk sumber primernya. Berbeda dengan skripsi/tesis yang isinya kadang lebih elaboratif.
Tentu, nama mahasiswa dan dosen pembimbingnya harus tertulis sebagai “authors” artikel itu, beserta nama- nama lain yang kontribusinya dianggap cukup banyak. Yang kontribusinya dianggap tidak esensial, ditulis dalam “acknowledgement” atau ucapan terima kasih.
2) Kalau bukan berupa data, metode, atau hukum/teori baru, tapi cuma uraian dalam latar belakang, dalam batas-batas tertentu tidak masalah diuraikan di dua artikel atau lebih. Misalnya, dua artikel itu terkait dengan energi terbarukan. Data, metode, atau obyek yang dikaji dalam kedua artikel itu berbeda, tapi karena sama-sama dimaksudkan untuk mengatasi masalah energi, maka bahasan dalam Pendahuluan isinya mirip.
Intinya, yang di-klaim sebagai “original” atau “baru”, tidak boleh ditulis di dua artikel yang berbeda. Yang statusnya bukan baru, cuma informasi latar belakang, atau hanya style penulis dalam memberi pengantar tentang metode yang dilakukan (jadi, bukan uraian metodenya yang sama, tapi cuma kalimat pengantarnya), maka adanya kemiripan itu TIDAK TERMASUK kategori “self-plagiarism”.
3) Pemberi dana meminta “research report” dengan data yang lengkap. Data dalam research report itu akan sama dengan data yang di-submit ke Nah, research-report dan artikel jurnal dalam kasus ini, SANGAT MIRIP dengan kasus dissertation/thesis dan artikel jurnal yang diceritakan di nomor (1). Ini sama sekali bukan self-plagiarism, karena disertasi maupun research-report bukanlah “published material”, walaupun universitas maupun si penyandang dana menempatkannya dalam sistem online. Yang berstatus “published material” adalah artikel jurnal itu.
3. Di negara dengan fasilitas penelitian yang canggih, hasil-hasil penelitian yang baru, dapat diperoleh dengan cepat, sehingga mahasiswa dan pembimbingnya bisa cepat pula memperoleh data yang cukup untuk menulis artikel. Nah, untuk negara maju seperti ini, terjadi sebaliknya. Disertasi seolah merupakan hasil “self-plagiarism” dari artikel-artikel yang telah terbit.
Silakan dicek institutional repository universitas di negara maju, cek disertasinya, search di Google Scholar. Akan ditemukan isi disertasi merupakan “tiruan” dari artikel jurnal, atau kumpulan artikel-artikel jurnal.
Tapi ini juga sebetulnya bukan “self-plagiarism”.
Semoga semakin jelas mana yang “self-plagiarism”, mana yang bukan.
4. Realitasnya: NDLTD (Networked Digital Library of Theses and Dissertation) sudah ada sejak lamaaa sekali, yang pertama kali dikembangkan oleh konsorsium universitas di Amerika Serikat, dan menyebar ke seluruh dunia. Mereka meng-online-kan disertasi mahasiswanya, DAN mahasiswa beserta pembimbingnya menulis artikel dari disertasi itu CUKUP SERING JUGA TANPA MERUJUK DISERTASINYA SENDIRI.
Silakan search “NDLTD” di http://www.google.com.
5. Kalau ORANG LAIN menggunakan data disertasi itu, misalnya ia menemukan disertasi itu lewat repository universitas, eg. melalui NDLTD, maka yang harus dilakukannya:
1) Cek dulu di Google Scholar, Scopus, dll., apakah sang penulis disertasi dan pembimbingnya telah menulis di jurnal ilmiah. Kalau sudah, rujuklah artikel dalam jurnal itu.
2) Kalau tidak ditemukan tulisan di jurnal oleh sang penulis disertasi/pembimbingnya tentang topik yang sama, maka ia dipersilakan untuk merujuk disertasi tsb.
6. Repository BUKAN literatur primer untuk rujukan. Dia bisa memuat tulisan PRA-JournalArticle, atau POST-JournalArticle. Artinya, repository bisa menjadi latihan untuk menulis artikel, bisa pula memuat artikel yang telah terbit di journal.
Untuk yang kedua, yaitu memuat artikel yang telah terbit di jurnal, yang ditulis oleh civitas academica-nya, pengelola repositori universitas WAJIB mengecek copyright statement jurnal ybs. Kalau jurnal itu menyebutkan larangan untuk memuat artikelnya di tempat publik, maka artikel itu tidak boleh ada di repositori.
Tapi, sejak gerakan open-source, banyak established journals yang commercial telah mengubah copyright licensenya. Sebelumnya melarang authors untuk memuat artikel jurnal tsb. di tempat mana pun yang bersifat publik, sekarang JUSTRU meng-encourage penulis untuk memuat artikelnya di personal homepage, blog, atau institutional repository. TAPI, yang dimuat adalah original manuscript, yaitu dalam format yang belum ada header jurnal, nomor halaman, dll. WALAUPUN isi manuscript itu 100% sama dengan artikel jurnal. Di bawah manuscript itu, bisa diberi keterangan bahwa “artikel ini telah diterbitkan dalam jurnal Anu, v.12 p.34-38”, misalnya.
Tapi, sekali lagi, tetap saja pengelola repository harus mengecek copyright notice/statement dari journal tsb.
7. Terakhir, saya ingin bicara tentang repository yang menjadi tempat latihan menulis artikel. Yang paling terkenal dan tertua adalah arxiv.org, dari Cornell University, yang memuat artikel dalam bidang physics, mathematics, computer science, quantitative biology, quantitative finance and statistics. Inilah yang dikenal sebagai “subject repository”, bukan “institutional repository”, karena penulisnya dari berbagai institusi.
Dalam arxiv.org, termuat artikel yang BELUM dimuat dalam jurnal. Penulis boleh meng-upload beberapa versi, mulai versi awal, versi perbaikan satu, dst., dan semuanya dibiarkan terpelihara dalam repository itu.
Saya pernah menemukan, versi terakhir dari seri perbaikan artikel di arxiv.org, setelah memperoleh masukan dari rekannya dalam komunitas ilmiah, isinya 100% sama dengan yang akhirnya terbit di jurnal.
Ketika akhirnya telah terbit di jurnal, arxiv.org memuat keterangan semacam ini: “artikel ini akhirnya telah terbit di jurnal anu vol.anu p.anu”. Inilah yang di atas saya sebut “PRA-ArtikelJurnal”.
Mengapa si penulis tidak langsung saja submit ke jurnal? Ada banyak alasan: (1) dia ingin menerima masukan dari komunitas ilmiah tentang tulisannya, (5) dia masih menunggu beberapa data tambahan, tapi dia ingin memastikan komunitas ilmiah mengetahui bahwa dia TELAH melakukan hal tsb. Loncat ke 5 karena ada banyak alasan lain .. 🙂
Repository arxiv.org juga memuat POST-ArtikelJurnal. Banyak artikel yang telah terbit di jurnal, disubmit juga ke arxiv.org SETELAH artikel itu terbit.
RANGKUMAN: repository, baik berupa Institutional Repository (yaitu penulisnya dari lembaga/univ tertentu) atau Subject Repository (penulisnya dari beragam lembaga, tapi dalam subject yang didefinisikan di awal), sama sekali bukan media publikasi ilmiah, dimana peneliti merujuknya. Peneliti lain harus merujuk literatur primernya di jurnal, bukan di repository.
Terima kasih bagi yang telah membaca hingga baris ini .. 🙂
Salam,
Muhamad
Sumber : kimiawan.org